Enam Abad Dinar Dirham Made in Indonesia
Sufyan al Jawi - Numismatik Indonesia
Sebagian besar dari kita mungkin tak pernah tahu kalau Dinar dan Dirham pernah dibuat dan berlaku di Indonesia sebagai mata uang resmi.
Ya, sejak abad ke-14 nenek moyang kita telah akrab dengan kedua jenis mata uang ini. Dinar dan Dirham pernah mendominasi pasar-pasar di sebagian besar Nusantara, antara lain di Pasai, Malaka, Banten, Cirebon, Demak, Tuban, Gresik, Gowa, dan Kepulauan Maluku.
![Dinar Aceh](http://wakalanusantara.com/images_content/insideDinarAceh1.jpg)
Pada masa Sultan Ahmad Malik Az-Zahir koin Dinar lebih dikenal sebagai Derham mas, dicetak dalam dua pecahan yaitu Derham dan setengah Derham (1346-1383). Setelah Aceh menaklukkan Pasai (1524) tradisi mencetak Derham mas menyebar ke seluruh Sumatera, bahkan semenanjung Malaka. Derham ini tetap berlaku sampai bala tentara Nippon mendarat di Seulilmeum, Aceh Besar pada tahun 1942. Sampai hari inipun di Sumatera Barat masih dijumpai pemakaian satuan mas (1 mas = 2,5 gram) sebagai unit jual beli, terutama untuk tanah.
![Dinar Aceh2](http://wakalanusantara.com/images_content/insideDinarAceh2.jpg)
![Dirham Inggris](http://wakalanusantara.com/images_content/insideDirhamEIC.jpg)
![Dirham Belanda](http://wakalanusantara.com/images_content/insideDirhamBelanda.jpg)
![DeJavache Bank money](http://wakalanusantara.com/images_content/insideDejavache.jpg)
Setelah perang Jawa atau perang Diponegoro (Mei 1825-Maret 1830), kondisi keuangan pemerintah Hindia Belanda morat marit. Perang ini menelan biaya lebih dari 20 juta Gulden atau setara 40 juta Derham Jawa. Guna memulihkan keuangannya, penjajah ini menarik seluruh Derham kompeni, namun penduduk pribumi enggan menukar Derham mereka dengan uang kertas berjamin tembaga (kopergeld), sehingga masa penukaranpun menjadi molor selama 28 tahun (1832-1860)!. Upaya lainnya dari VOC untuk mengisi kekurangan Kas Negara adalah diterapkannya sistem tanam paksa (Cultur Stelsel) oleh Gubernur Jenderal Van den Bosch selama kurun 1863-1919.
Pada tahun 1873, Hindia Belanda mulai melakukan misi penaklukan Aceh, dan terjadilah perang panjang yang terkenal dengan nama Perang Aceh, Prang Gompeuni, Prang Sabi dan Prang Kaphe (1873-1942). Belanda belum dapat menguasai Aceh sepenuhnya. Secara de jure gulden adalah satu-satunya mata uang yang sah. Tapi secara de facto Derham mas Aceh adalah satu-satunya mata uang yang dapat diterima oleh penduduk Aceh, bahkan berlaku pula di Sumatera Barat dan Deli!
Selanjutnya, ketika berkuasa, pemerintah Dai Nippon terpaksa menerapkan lebih tegas UU No. 2 tanggal 8 Maret 2602 (tahun Jepang Kooki atau tahun 1942) tentang mata uang. Semua mata uang dengan digantikan oleh uang kertas Dai Nippon! Ketika Indonesia merdeka, pada tanggal 26 Oktober 1946, Presiden Sukarno dan Menkeu Sjafroedin Prawiranegara menerbitkan UU No. 19 tentang penerbitan ORI (Oeang Repoeblik Indonesia) dengan dasar 10 rupiah = 5 gr emas murni.
Rakyat menyambut antusias atas terbitnya rupiah republik ini. Sebuah harapan besar akan masa depan yang cerah. Meski kakek nenek kita harus rela dijatah hanya boleh memegang 50 rupiah setiap keluarga, untuk kemudian rupiah Jepang dimusnahkan oleh Pemerintah. Tetapi pada prakteknya dasar hukum UU No. 19 tersebut telah dilanggar sendiri oleh Pemerintah kita sehingga kita mendapati rupiah seperti sekarang ini. Tak ada jaminan emasny alagi. Dan harga emas, pada pertengahan tahun 2009, ini bukan lagi Rp 2/gram, tetapi di atas Rp 320.000/gram, yang artinya nilai rupiah kita dibuat merosot lebih dari 160.000 lebih rendah!
Jelas Dinar-Dirham pernah berjaya selama lebih dari 600 tahun (1302-1942), tak hanya di Aceh dan sebagian Sumatera tetapi juga di Sulawesi Selatan dan sebagian daerah di Jawa Timur. Maka, peredaran kembali Dinar Dirham di wilayah Indonesia sekarang ini, bukanlah sesuatu yang asing dan aneh.
*Sofyan Al Jawi numismatis dan penulis buku Kemilau Investasi Dinar Dirham